Ibadah  

Membayar Utang Puasa, Berikut Ketentuan dan Syarat Puasa Qadha

Membayar Utang Puasa, Berikut Ketentuan dan Syarat Puasa Qadha
Membayar Utang Puasa, Berikut Ketentuan dan Syarat Puasa Qadha

Semangat Islam – Membayar Utang puasa bagi kaum muslim wajib dilakukan. Membayar utang puasa ini disebut dengan puasa qadha.

Puasa ini dapat dilakukan setelah bulan puasa. Waktu membayar utang puasa pun juga memiliki ketentuan dan syaratnya tersendiri.

Waktu membayar utang puasa perlu diperhatikan bagi Anda yang meninggalkan puasa Ramadan. Meski bersifat wajib, puasa Ramadan dapat ditinggalkan bagi orang dalam keadaan tertentu.

Namun, orang tersebut harus membayar puasa yang ditinggalkannya di hari lain usai Ramadan.

Membayar utang puasa wajib dilakukan sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan. Puasa ini sering disebut juga dengan puasa qadha.

Ketentuan waktu membayar utang puasa ini juga tak hanya meliputi batas waktu qadha, melainkan juga apakah qadha harus dilakukan secara berurutan atau tidak.

Berikut ulasan mengenai waktu membayar utang puasa yang berhasil dirangkum Semangat Islam dari berbagai sumber,

Ketentuan membayar utang puasa

Puasa qadha wajib dilaksanakan sebanyak hari puasa yang telah ditinggalkan saat Ramadan. Ketentuan membayar utang puasa Ramadan dapat dilihat jelas dalam firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah ayat 184 yang berbunyi:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya:

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Waktu Membayar Utang Puasa

Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,

“Kewajiban meng-qadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya,”

Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa tidak ada batas waktu bagi seseorang untuk membayar utang puasanya. Dalam artian mengqadha puasa dapat dilakukan kapan saja meski sudah datang lagi bulan Ramadan berikutnya.

Namun, pendapat lain mengungkapkan bahwa waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha puasa Ramadan adalah sampai bulan Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari Aisyah RA yang berbunyi:

”Aku tidaklah meng-qadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah”

Pendapat ini mengungkapkan bahwa qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadan berikutnya. Hadis di atas merupakan hadis mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat yang dalam hal ini adalah istri Rasulullah, Aisyah RA.

Dilansir dari Islam Pos, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam:

“Adalah jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari Aisyah —yang tinggal dalam rumah kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari Rasulullah. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk meng-qadha puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha hendaknya dilaksanakan sebelum datangnya Ramadhan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah melampaui batas. Kalau qadha itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadhan yang baru, niscaya perkataan Aisyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat mengenai wajibnya meng-qadha sebelum datangnya Ramadhan yang baru telah disepakati oleh para fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.”

Jika ada orang-orang dengan alasan tertentu belum juga melaksanakan qadha’ puasa Ramadan, sampai tiba bulan Ramadan berikutnya ada ketentuan tersendiri.

Keadaan seperti ini, dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti selalu ada halangan, sering sakit, bersikap apatis, bersikap gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha’ puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadan benkutnya.

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha puasa Ramadan sampai tiba Ramadan berikutnya tanpa halangan yang sah, maka hukumnya haram dan berdosa. Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran uzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Haruskah dilaksanakan secara urut?

Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 184, wajib mengganti puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Namun, pada ketentuan tersebut tidak tercantum apakah puasa pengganti harus dilakukan berurutan atau tidak.

Dilansir dari NU Online, ada dua pendapat mengenai ketentuan ini. Pertama menyatakan bahwa jika hari puasa yang di­tinggalkannya berurutan, maka qadha’ harus dilaksanakan secara berurutan pula, lantaran qadha’ merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan.

Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha’ puasa tidak harus dilakukan secara berurutan, lantaran tidak ada satu­ pun dalil yang menyatakan qadha ‘ puasa harus berurutan. Pendapat ini didukung oleh sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

“Qadha’ (puasa) Ramadan itu, jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya berurutan. ” (HR. Daruquthni, dari Ibnu ‘Umar)

Dalam hal ini pendapat kedua lebih kuat karena didukung oleh sabda Rasulullah dalam hadis yang sharih. Meski begitu alangkah lebih baik jika membayar utang puasa sesegera mungkin.