Kolom  

Pelajaran dari IKEA

Oleh: Alfitri
(Dosen Sosiologi  Fisip Universitas Andalas)

 

Sejumlah mal di Jakarta kini sepi. Pun termasuk beberapa mal legendaris. Bukan saja sepi dari pengunjung, tapi juga ditinggalkan penyewa gerainya. Banyak toko tutup, atau dialihsewakan, hingga dijual dengan harga miring. Ini memang bagian dari konsekuensi pandemi Covid-19 (CNBC Indonesia, 26/12/2021).

Namun, di tengah kelesuan itu, menjelang akhir tahun 2021, IKEA malah ekspansi menambah gerai baru. IKEA, perusahaan retail asal Swedia yang menyediakan aneka kebutuhan perabot rumah tangga itu terus menambah gerainya di Jakarta dan Jawa Barat.

IKEA, dengan corporate color-nya biru dan kuning itu, justru optimis mengalami pertumbuhan yang signifikan di tahun 2021 (Kontan, co.id, 10/10/2021). Data Forbes tahun 2020 dan Kantar BrandZ tahun 2021 memang menempatkan IKEA sebagai salah satu The World’s Most Valuables Brands.

Begitulah. Seperti yang saya saksikan sendiri dua pekan lalu di IKEA Kota Baru Parahyangan, Bandung. Parkiran toko yang hampir seluas lapangan sepakbola itu penuh.

Pengunjung ramai, Namun mereka antri dengan tertib saat check-in dengan mengarahkan aplikasi PeduliLindungi di hp androidnya ke arah QR code di dekat pintu masuk. Petugas di pintu masuk terlihat ramah, tapi disiplin mengingatkan pengunjung terkait standar prokes.

Toko yang mulai beroperasi sejak akhir Maret 2021 ini bersifat inklusif dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Selain merekrut sekitar 300 karyawan dari masyarakat lokal, toko ini juga memberdayakan UMKM lokal dengan memberi kesempatan secara gratis untuk memamerkan dan menjual produk mereka di sini.

Program yang bertajuk TERAS Indonesia itu berkolaborasi dengan beberapa komunitas kreatif setempat guna pelestarian budaya lokal Jawa Barat.

Selain itu, toko ini juga sangat mendukung pembangunan berkelanjutan dengan mengurangi dampak negatif ke lingkungan. Upaya itu antara lain dilakukan dengan menggunakan teknologi hemat energi untuk AC dan lampu, serta menerapkan teknologi water recycle.

Saya tak belanja barang di toko ini. Tapi makan siang di restoran pada salah satu pojok lantai duanya. Restorannya cukup luas, bersih, nyaman, dan tertata rapi dengan sistem self-service. Karena itu, tak tampak banyak pelayan.

Kecuali yang memang bertugas mengambilkan makanan di balik etalase dan kasir yang kelihatan sigap melayani di tengah pengunjung yang ramai.

Cukup dengan sedikit petunjuk ringkas yang ada di sana dan dengan mengamati tindakan pembeli yang lain sebelumnya, pengunjung restoran ini tampak segera menyesuaikan diri dengan mekanisme self-service yang berlaku.

Pengunjung yang umumnya datang dengan keluarga atau temannya itu mengambil troli dan ikut antrian makanan.

Setiap troli memiliki rak yang dapat diisi dengan tiga nampan. Masing-masing nampan dapat diisi dengan dua piring atau mangkok. Ada makanan yang bisa diambil sendiri dan ada yang diambilkan oleh petugasnya.

Setelah nampan mereka diisi dengan makanan yang diinginkan, pembeli dapat mengambil juice atau air mineral. Juice ditarok dalam gelas, bukan dalam cup plastik. Air mineral juga dalam botol kaca, bukan yang menggunakan kemasan botol plastik.

Selain itu, tak tampak disediakan sedotan plastik. Ini menunjukkan dukungan IKEA terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya yang terkait dengan upaya pengurangan sampah plastik.

Setelah makan mereka lantas membersihkan meja masing-masing. Piring-piring dan gelas yang sudah dipakai dimasukkan lagi ke nampan dan dibawa lagi dengan troli dan diletakkan di tempat yang telah disediakan.

Cara ini berbeda dengan di kebanyakan rumah makan atau restoran di mana pembeli dapat langsung berdiri dan meninggalkan mejanya. Saya lihat hampir semua pembeli melaksanakannya dengan sukarela. Mereka menyesuaikan diri dengan mekanisme yang ada di restoran toko ini.

Saya sering terkesan dan takjub dengan kemampuan orang Indonesia untuk “mendadak” bersikap disiplin dan tertib serta menyesuaikan diri dengan tempat baru yang didatanginya. Apalagi di tempat-tempat yang ada sentuhan “asing-nya” seperti di IKEA ini, atau kebetulan kalau mereka lagi berada di luar negeri.

Boleh jadi ini karena mereka tidak ingin dipandang “norak” atau khawatir dengan sanksi yang berlaku.
Tengoklah kalau orang Indonesia lagi di Singapura, misalnya. Perilaku mereka akan segera berbeda ketika masih berada di Indonesia dengan di Singapura.

Ambillah contoh, ketika masih di pelabuhan ferry di Batam dengan ketika sudah berada di pelabuhan ferry di Singapura.

Mereka yang biasanya cuek dengan ketertiban dan disiplin di tempat umum, mendadak akan menyesuaikan diri menjadi orang baik dengan misalnya, antri dengan tertib, tidak merokok, dan tidak membuang sampah sembarangan. Kok bisa ya?

Ada ahli yang menyebut perilaku ini sebagai gejala penyesuaian dangkal (superficial adjustment). Bagi sebagian orang penyesuaian dangkal itu hanya berlangsung sementara saja. Ya, ketika itu saja.

Tapi ketika sudah kembali ke habitatnya semula, ya berubah lagi seperti aslinya. Mereka yang semula memang cuek, tidak disiplin dan tidak tertib, ya akan kembali lagi seperti itu.

Namun, bagi sebagian yang lain, penyesuaian dangkal itu, dapat menjadi pembelajaran awal untuk seterusnya berperilaku lebih baik. Pengalaman makan siang di restoran IKEA itu misalnya, bagi sebagian orang boleh jadi akan menjadi awal mula untuk membiasakan antri dengan tertib, dan menarok piring dan gelas bekas makan-minumnya ke tempat yang telah disediakan dengan rapi.***