Raja Midas, Azyumardi Azra, dan Prototipe Intelektual Paripurna

oleh -

Oleh: Burhanuddin Muhtadi
Dosen UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik

 

 

Saya mengenal pertama kali nama Azyumardi Azra ketika pada tahun 1995 membaca tulisan-tulisannya yang bertebaran di Jurnal Ulumul Qur’an. Kebetulan saat itu saya masih “nyantri” di Madrasah Aliyah Negeri Khusus (MAPK) Surakarta.

Seorang kakak kelas menjajakan jurnal Ulumul Qur’an, baik edisi baru atau lama, di kamarnya. Dan saya lebih sering menikmatinya secara gratisan ketimbang membelinya. Pada saat itulah saya terkesima dengan produktivitas Azra tanpa sepenuhnya memahami pemikiran-pemikirannnya yang disampaikan dengan untaian kalimat dan diksi yang berat untuk seorang anak Aliyah seperti saya.

Di antara tokoh-tokoh pembaharu Islam yang buku-bukunya saya baca semasa di MAPK Surakarta, Azra memang lebih “junior.” Jika Nurcholish Madjid sudah dikenal dengan pemikiran desakralisasi Islamnya, Harun Nasution dengan teologi rasionalnya, Munawir Sjadzali dengan reaktulisasi Islamnya, Muslim Abdurrahman dengan teologi transformatifnya, nama Azyumardi Azra dan pemikirannya pada saat itu belumlah menjadi “household name.”

Baca juga:  Gagal Merebut Hati Umat

Saat itu belum banyak yang mengenal disertasi Azra di Columbia University yang bertajuk “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries.”

Buku terjemahan disertasinya yang diterbitkan Mizan dengan judul yang menohok “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” baru meledak setelah saya berlabuh di Ciputat pada 1996.

Munculnya nama Azyumardi Azra dalam daftar intelektual Muslim pada medio 1990-an membuat reputasi IAIN (UIN) Jakarta makin mengkilap. Meski orang tua menyarankan saya kuliah di IAIN Yogyakarta karena pertimbangan biaya, saya bersikeras melanjutkan sekolah ke IAIN Jakarta karena pesona para cendekiawan Muslim yang umumnya bermarkas di Ciputat.

Baca juga:  Padusunan Memilih Kepala Desa

Ketika saya menginjakkan kaki di IAIN Jakarta, Azra baru saja menyelesaikan program post-doctoral di Oxford University. Karier keilmuannya yang mengagumkan membuat Rektor IAIN pada saat itu, Prof Dr Quraish Shihab, mendapuk Azra sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik.

Terpilihnya Quraish Shihab sebagai Menteri Agama pada 1998 membawa keberuntungan tersendiri bagi Azra. Ia naik kelas menjadi Rektor IAIN Jakarta di masa-masa genting jelang berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru.

Sebagai mahasiswa yang turut berdemonstrasi bersama ribuan mahasiswa IAIN, saya sering melihat Azra “melepas” keberangkatan “pasukan” mahasiswa ke Gedung DPR RI. Setelah Soeharto jatuh, Azra makin dekat dengan aktivis mahasiswa. Sebagai Rektor ia sangat akomodatif terhadap tuntutan mahasiswa membubarkan sistem senat mahasiswa yang dianggap bagian dari warisan Orde Baru menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa yang lebih otonom.

No More Posts Available.

No more pages to load.