Oleh: Andrinof A. Chaniago
Di tahun 1992-1994, saya berturut-turut mendapat kesempatan menjadi research assistant tiga orang peneliti luar. Kesempatan pertama saya dapat dari Jeffrey Alan Winters, dari Northestern University, USA. Topik risetnya tentang Kawasan Industri.
Lebih tepatnya ketika itu posisi saya melakukan riset bersama, tetapi saya mendapat kesempatan mengerjakan satu subtopik tersendiri. Dan, terus terang, dari sinilah cikal-bakal saya menekuni strategi pembangunan nasional hingga lahirnya buku Gagalnya Pembangunan (LP3ES, 2001).
Kesempatan kedua menjadi research assistant saya dapat dari Ian Chalmers, yang waktu itu sudah menjadi pengajar di Murdoc University, Perth, Australia. Topik persisnya saya sudah tidak ingat. Tetapi saya ingat isunya seputar Konglomerasi Bisnis, karena pekerjaan saya ketika itu adalah mencari dokumen-dokumen pendirian perusahaan sejumlah perusahaan nasional.
Sedangkan kesempatan ketiga menjadi research assistent adalah membantu M. Ramesh, seorang pengajar dan peneliti dari University of New England, Australia. Topik riset Ramesh ketika itu adalah tentang Kebijakan Pembangunan Sosial.
Satu hal yang amat penting yang saya dapat dari keterlibatan membantu tiga orang peneliti di atas adalah tentang kewajiban memburu data. Karena, yang namanya riset tujuannya adalah menjawab keingintahuan atas apa yang penting diketahui orang banyak.
Berdasarkan hasil riset itulah orang yang menyandang status ilmuwan memberi pencerahan ke publik dan menyempurnakan pandangan-pandangan para ilmuwan yang sudah mengemuka.
Tetapi, yang namanya data bukanlah apa yang muncul di media massa dan medsos. Kebanyakan data-data penting berada di tempat atau di kepala orang-orang tertentu yang memerlukan kerja berkeringat, atau perlu kecerdasan tertentu, untuk mendapatkannya.
Menjadi peneliti kadang-kadang harus bekerja seperti agen intelijen. Menggunakan cover, memainkan peran di luar peran keseharian, memburu target yang pergerakannya amat sibuk, dan sebagai.
Jeffrey A Winters pernah memaksa dirinya bangun subuh dan pergi dengan pakaian olah raga lengkap menyandang raket tenis menuju sebuah lapangan tenis. Tujuan utamanya ke lapangan tenis itu bukankah untuk bermain tenis, melainkan mengejar target, yakni seorang menteri bidang ekonomi yang punya jadwal rutin main tenis di lapangan tersebut.
Jeffrey sengaja datang untuk mengawali pemakaian lapangan sampai sang menteri datang. Karena dia yakin ketika sang menteri datang dan bersiap menggunakan lapangan, pasti akan terjadi saling sapa.
Selain berpura-pura sangat hobby main tenis, Jeffrey juga berpura-pura tidak tahu bahwa sang menteri adalah seorang menteri. Maka, ketika saling sapa dan berkenalan, Jefrrey memperlihatkan ekspresi wajah kaget.