Kolom  

Milad IAIN Batusangkar ke-24 sebuah Refleksi

Oleh: Akhyar Hanif
(Dekan Fuad IAIN Batusangkar  periode 2020-2024)

 

Sepanjang perjalanan karir saya menjadi dosen di kampus ini, sejak 1994 hingga detik ini, inilah pertama kali saya diminta untuk menuliskan refleksi terhadap institusi ini. Tidak mudah juga membuat sebuah refleksi. Saya agak kebingungan untuk memulainya dari mana.

Bagi saya IAIN Batusangkar ini adalah “rumah” kedua, tempat saya mengabdi dan mendedikasikan diri agar dapat menjadi orang yang “bermanfaat” bagi orang lain (khairu al-nâs anfa’uhum li al-nâs). Hingga tahun ini sudah 27 tahun saya meniti karir di sini. Mungkin masa yang belum begitu panjang jika dibanding dengan teman-teman lain yang sudah sampai ke puncak keemasannya.

Akan tetapi cukup lumayanlah, dan jika dianalogikan ke umur seorang anak gadis, maka umur 27 tahun itu sudah pasti telah menikah dan barangkali juga sudah punya anak. Kalau anak gadis itu anak saya, maka sekarang saya sudah punya cucu.

Saya tidak tahu, entah sampai kapan posisi ini saya lakoni, yang pasti tentu hingga batas waktu yang diberikan oleh pemerintah kepada saya atau batas waktu yang diberikan Tuhan kepada saya, entahlah.

Seiring dengan perjalanan waktu, IAIN ini terus mengalami perubahan demi perubahan, terus tumbuh dan berkembang, tidak saja mengikuti perkembangan zaman akan tetapi juga mengikuti irama pertumbuhan dan perkembangan “studi Islam” itu sendiri di Nusantara.

Saya pribadi menyaksikan bahkan mengikuti ritme pertumbuhan dan perkembangan itu dari waktu ke waktu. Mulai dari sebuah Institusi yang tidak dianggap, dicibir, dipandang sebelah mata, dan bahkan tidak menjadi tuan di rumah sendiri.

Dahulu orang Batusangkar, wa bil khusus, masyarakat Lima kaum sendiri “malu” memasukkan anaknya kuliah ke sini. Ada sinyalemen di masyarakat, kalau anda kurang percaya boleh dicek ke orang tua-tua di sekitaran nagari Lima Kaum ini, yakni; kalau ada orang bertanya misalnya, “dima anak kuliah pak”, lalu dijawab di IAIN, maka orang tadi akan membalas; “Ooohhhhhh di IAIN”, sambil memanjangkan bunyi “oh” –nya tanda cemeeh (tanda tidak dianggap karena kuliah di IAIN itu kurang presticius).

Akan tetapi sekarang, keadaan berubah 180ͦ derajat, masyarakat berbondong-bondong memasukkan anaknya untuk kuliah di sini. Bahkan ada yang sedikit terkesan memaksakan kehendak agar anak-anaknya diterima kuliah di sini atasnama masyarakat pribumi.

Singkat kata, IAIN Batusangkar hari ini, bahkan menuju UIN Batusangkar pula, sekarang telah menjelma menjadi institusi pendidikan tinggi keagaamaan Islam negeri (PTKAIN) satu-satunya di kabupaten Tanah Datar yang sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Tanah Datar.

Kini Ia sudah duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan perguruan-perguruan Tinggi lainnya di Sumatera Barat dan bahkan di tingkat Nasional. Betapa tidak, ada 34 prodi dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, 4 Fakultas dan 1 program Pascasarjana, 1 Perpustakaan yang tidak saja megah tetapi juga memiliki koleksi yang memadai.

Memiliki 231 dosen aktif dalam berbagai bidang ilmu, 172 tenaga kependidikan dan 8807 mahasiswa aktif. Serta fasilitas-fasilitas lainnya.

Terkait dengan IAIN sebagai sentra “studi Islam”, memang perlu diskusi panjang agaknya untuk menjawab apakah institusi ini masih bisa “dilabelisasi” dengan sebutan pusat studi Islam. Sebab dari sekian program studi yang ada itu hanya beberapa saja yang menjadi core basic keilmuan Islam itu sendiri.

Angkatlah contoh di Fakulatas Ushuluddin Adab dan Dakwah (Fuad) hanya ada satu Program studi yang terkait langsung dengan keilmuan Ushuluddin yakni Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT). Dulu pernah dibuka prodi Ilmu Hadis akan tetapi ditutup lagi, karena sepi peminat.

Di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan misalnya hanya ada prodi PAI dan PBA. Di Syariah mungkin hanya ada satu juga yakni Prodi Ahwal al-Syahsiyah.

Sementara di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Febi) hampir dapat dikatakan tidak ada satu pun prodi yang merupakan jelmaan dari core basic kajian Islam tempo dulu itu, meski ada kata syariah di belakangnya, seperti prodi Ekonomi Syaria’ah, perbankan Syariah dan lain-lain. Termasuk juga di Program Pascasarjana sendiri.

Tentu kita boleh setuju dan tidak setuju dengan pandangan di atas. Kalau yang dimaksud dengan core basic keilmuan Islam itu adalah program studi yang dilahirkan dari rahim fakultas-fakultas yang ada di IAIN tempo dulu, seperti fakultas; tarbiyah, syariah, dakwah, ushuluddin, dan Adab, maka prodi-prodi yang ada sekarang, tentu agak sulit menyebutnya sebagai studi Islam itu sendiri.

Meski kita tahu bahwa ia adalah pengembangan dari ijtihad kita, sebagai umat Islam, dalam menjawab tantangan zamannya. Dengan ungkapan sederhana, dan tentu saja tidak bermaksud menyederhanakan persoalan, bahwa prodi-prodi yang ada di IAIN sekarang sama saja dengan prodi-prodi di PTN lainya, bedanya hanya di “label” syariah atau ada kata “islam” yang disematkan di belakang program studi itu.

Menurut saya, kita perlu refleksi juga ke belakang. Bukankah “belajar” dari sejarah itu penting, kalau tidak maha penting. Tidaklah salah rasanya jika kazanah tempo dulu itu kita jadikan sebagai pijakan untuk mengembangkan keilmuan keislaman di masa kini.

Dahulu pemikiran Islam (baca: filsafat Islam, teologi, dan tasawuf, temasuk juga sejarah Peradaban Islam) menjadi mata kuliah wajib di seluruh IAIN di Nusantara. Sekarang seingat saya tidaklah wajib.

Menurut saya, mata kuliah ini penting untuk memberi wawasan keislaman yang baik dan moderat bagi mahasiswa agar tidak terjebak ke dalam fanatisme dan ekstrimisme sempit dalam beragama. Begitu pula studi Agama-agama.

Bagi saya, “berdakwah” itu mempunyai dua sasaran. Yakni sasaran intenal dan ekternal. Selama ini sasaran dakwah kita baru hanya kepada orang-orang yang sudah beragama Islam (internal). Kita belum banyak mengarahkan sasaran dakwah ini ke pihak ekternal (non-muslim). Kalau dakwah internal, saya sebut sebagai penguatan terhadap keberagamaan mereka.

Berbeda dengan eksternal, ini tentu memerlukan pemaham konsep yang mendasar dan mendalam tidak saja terhadap ajaran agama kita tetapi juga terhadap ajaran-ajaran agama yang akan kita dakwahi atau akan kita sasar itu. Nah, di sinilah pentingnya studi agama-agama ini.

Sebagaimana yang dilakukan oleh dua tokoh dunia Syaikh Ahmed Deedat dan Dr. Zakir Naik. Mereka berdua mengarahkan dakwahnya ke sasaran ekternal dan telah behasil “mengislamkan” ribuan non muslim dengan argument yang kuat dan rasional. Selamat milad IAIN Batusangkarkoe…..!