Kolom  

Ajo Eri: Filolog IAIN Batusangkar untuk Minangkabau

Oleh : Yusrizal Efendi, M.Ag. Dt. Paduko Alam
(Dosen IAIN Batusangkar)

Mak Itam, Itulah panggilan yang sering saya dengar dari orang-orang di sekitar lingkungannya memanggil almarhum Dr. Yusri Akhimuddin, S.Ag., MA , Hum. Panggilan Tam (singkatan Mak Itam) lazimnya dilafalkan oleh anak-anak muda (mahasiswa dan anak sekolah) yang sekampung asal, sesama orang Pauh Kamba dan Pariaman dengan beliau. Adapun panggilan Ajo adalah sebutan umum bagi kakak laki-laki di Pariaman. Umumnya orang memanggil beliau Yusri, namun panggilan Eri padanya juga banyak dipakai oleh pihak yang mengenal almarhum sejak kecil.

Beranjak dari situ semua, saya sendiri pun terbiasa menyebutnya Tam atau Ajo saja. Beliau pun biasa panggil saya Konti (panggilan umum bagi orang laki-laki di blok Mudiak Payakumbuh, padahal saya sendiri blok Hilirnya) yang juga lazim dipakaikan oleh orang luar Luak Lima Puluh Kota pada orang laki-laki yang berasal dari Luak Nan Bungsu tersebut . Belàkangan Tam atau Ajo, panggil saya Datuk karena oleh kaum pasukuan Pàyobada di Nagari (Bukik Limbuku) diberi amanah memikul beban tanggungjawab sebagai Pangulu.

Terlepas dari soal panggil-memanggil itu di antara Tam atau Ajo dan saya, kami dinilai banyak pihak sangat akrab. Saya kenal almarhum sejak kuliah pada IAIN (sekarang UIN) Imam Bonjol Padang, sama-sama angkatan 92. Saya kuliah di Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Ajo Eri di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab, gedung di sebelahnya di kampus Lubuk Lintah. Namun demikian, semasa kuliah hanya sebatas kenal biasa dan baru intens setelah sama-sama tamat dan dapat amanah sebagai dosen pada STAIN (sekarang IAIN) Batusangkar. Saya CPNS angkatan 1998 dan Ajo Eri tahun 1999.

Sebagai sesama lajang pada masa itu, saya, Ajo dan beberapa dosen serta pegawai STAIN Batusangkar lainnya, biasa mabit (menginap dan berkumpul) dalam kesehariannya di mes dosen. Kebetulan bagi kami yang masih muda-muda, ada satu kamar bak bangsal kelas 3 di ruang rawatan yang terdiri dari 5 tempat tidur dan almari tempat meletakkan sekedar barang-barang harian. Kebetulan ada satu kamar mandi yang lazim dipakai secara bergantian oleh dosen-dosen yang menginap di mes tersebut. Tempat tersebut sekarang sudah beralih fungsi menjadi gedung Islamic Center di lantai dua dan tiga serta garasi mobil dan 4 kamar menginap dan bersalin (bertukar tampilan) bagi dosen yang “barulang” (bolak-balik) dari Padang, Dharmasraya, Solok, Bukittinggi,  Payakumbuh atau lainnya.

Dosen-dosen yang mabit di mess dosen itu, lazimnya “pulkam” (pulang kampung) sekali seminggu. Di akhir pekan itulah kami biasa “bertandang” dan silaturahmi ke kampung dan kediaman masing-masing. Saya pernah beberapa kali rihlah dan menginap di Pauh Kamba Pariaman, kampung Ajo Eri, bahkan saya pernah ke Panam Pekanbaru bareng beliau, saat istrinya masih bekerja di sana di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Ajo Eri pun demikian pula ke kampung saya di darek, Bukik Limbuku di Luak Lima Puluh Koto. Apalagi ada bako saya di kampung (Maktuo Syamsinar) yang puluhan tahun mengabdikan diri sebagai guru hingga pensiun di kampung Ajo Eri dan menjadi salah satu guru beliau juga. Jadi, Ajo Eri pun tak merasa asing sedikit pun bila ke kampung saya karena selain keluarga saya ada keluarga bako saya yang sudah lama dikenalnya. Setiap ke kampung bareng saya ke Payakumbuh, kàmi bukan hanya ke rumah saya, tetapi juga ke rumah bako saya tersebut. Hal ini berlangsung sejak kami sama-sama bujangan sampai sudah sama-sama berkeluarga. Hubungan silaturahmi tetap terawat dan terpelihara dengan baik.

Ajo Eri Hobi Memasak dan Jago Nasyid

Satu hal yang mungkin jarang orang lain tahu, Ajo Eri juga hobi memasak. Setiap pulkam ke Pauh Kamba, beliau sering membawa tepung Sala Lauak dan saya pun sering order untuk dibawa pulkam. Kami sering membuat Sala Lauak tersebut di mes dan dinikmati bersama dosen-dosen yang mabit di mes. Demikian juga untuk sambal teman nasi untuk makan dalam keseharian di mes, Ajo Eri sering tampil unjuk kebolehannya. Di sini tampak jelas bahwa Ajo Eri sudah terbiasa hidup mandiri  sebelumnya…

Karena mobilitas kebersamaan itu, saya jadi tahu ternyata Ajo Eri juga punya jiwa seni. Beliau ditahbiskan remaja mesjid di Kabun Pauh Kamba sebagai pembina nasyid. Saya tak heran, karena di masa itu sering mendengar beliau bersenandung nasyid la Raihan. Karena kedekatan dan keakraban kami, Saya pun sempat dipercaya Pengurus Masjid kampungnya sebagai Khatib Hari Raya Idul Fitri di masjid tersebut tahun 2007.

Ajo Eri Sang Filolog: Ranah Minang

Secara akademis, Ajo Eri konsen di bidang bahasa Arab dan bil khusus Filologi, sementara saya di bidang Tafsir Hadis, bil khusus Hadis/Ilmu Hadis. Saya sangat bersyukur punya sahabat yang luar biasa sebagaimana beliau. Tahun 2004, beliau ada penelitian terkait identifikasi dan kodikologi naskah di berbagai surau di pelosok Minangkabau. Saat penelitian lapangan di seputaran Payakumbuh atau Lima Puluh Kota, Ajo Eri ajak saya tour ilmiah ke berbagai surau yang ada. Di sinilah saya belajar langsung dari beliau, bersilaturahmi dengan Khalifah Suluk dan Buya di berbagai surau dan coba belajar bagaimana caranya melakukan identifikasi dan kodikologi naskah-naskah klasik yang ada. Memang beliau “expert”nya dalam bidang ini. Diterawang sekilas saja fisik naskah yang diteliti, beliau tahu kertas yang dipakai untuk menulis naskah itu produk negara mana dan diproduksi kisaran tahun berapa.

Saya juga banyak mendapatkan ide untuk penelitian dari beliau. Salah satunya tentang “Praktek Bacaan Wirid Sesudah Shalat Fardhu di Tengah Masyarakat Dalam Perspektif Hadis Rasulullah” (2007) dan kemudian saya kembangkan menjadi Buku “Praktek Shalat Ala Rasulullah” (2011). Bahkan, dua tahun terakhir (2020-2021), Ajo Eri dan saya melakukan penelitian di Lima Puluh Kota/Payakumbuh, Solok dan Sijunjung terkait tema “Teologi Bencana: Kajian Naskah Gempa Bumi dan Gerhana”. Ide awal dan besarnya datang dari Ajo Eri sendiri beranjak dari naskah milik Abu Bakar Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H) yang berjudul “Kasy al-Salsalah ‘an Wasyf al-Zalzalah”. Naskah itu kebetulan ada di tangannya.

Ide dalam naskah klasik tersebut, kemudian kami kaitkan dengan naskah dengan tema sejenis yang ada di Sumatera Barat, khususnya Surau Pisang Sumani Solok, Surau Simawuang Sijunjung dan Surau di kampung Apria Putra Engku Mudo Khalis, seorang akademisi dan juga praktisi tasawuf amali Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah di Luak Lima Puluh Koto. Merupakan pe-er dan hutang moral, mental dan ilmiah saya untuk menuntaskan kajian ini sesuai pesan almarhum.

Komunikasi di Ujung Hayat

Di saat Ajo Eri proses perbaikan disertasinya pasca Ujian Tertutup pada hari Kamis, 4 Agustus 2021, saya kontak telepon dengan beliau. Ajo Eri mengatakan bahwa ia kurang sehat dan menjalani isolasi mandiri di kos. Ia tinggal di lantai 1 dan kawannya naik ke lantai 2. Mendengar itu, jujur saya agak shock dan terperanjat. Bagaimana tidak, kondisi beliau saat berangkat ke Betawi sehat wal ‘afiyat dan beliau setahu saya jarang sakit. Ajo mengatakan sebelumnya sempat demam dan saya langsung sarankan baiknya beliau jalani tes untuk memastikan Covid-19 atau tidak. Alhamdulillah, beliau berada di tengah teman-teman dan orang-orang yang sangat care terhadap kondisinya. Perkenankan saya juga haturkan terima kasih atas semua uluran tangan dan kebaikannya.

Kesedihan.saya tutupi dengan menghibur dan menyemangati beliau agar fokus pada pengobatan dan pemulihan fisiknya. Saya sampaikan agar beliau tak usah cemaskan urusan lanjutan penelitian terkait Naskah Gempa Bumi dan Gerhana. Saya dengan ditemani mahasiswa PBA FTIK (Rahmat Hidayat) yang direkomendasikannya guna pemenuhan data dukung Akreditasi Program Studi di kampus serta pembantu penelitian lainnya yang bakal menuntaskannya.

Hari Sabtu, saya mendapat share screenshot videocall WA dari sesama dosen di kampus. Posisinya sudah bukan lagi di tempat kos, melainkan sudah dirawat di RS Hermina dengan alat bantu pernafasan terpasang di hidungnya. Jujur saya sangat sedih dan tak mau manambah beban kesedihannya. Saya tak ingin manambah beban fikirannya dengan berbagi ceria tentang berbagai hal, apalagi urusan pekerjaan  dan penelitian.

Hari Senin siang, saya cek status WA Ajo Eri aktif dan langsung saya videocall WA beliau, tanyakan bagaimana kabarnya. Jika dalam screenshot videocall hari Sabtu, Ajo Eri masih duduk di tempat tidur, hari itu beliau dalam posisi tidur dengan kepala ditopang bantal dan memakai alat bantu pernafasan. Beliau curhat soal pernafasannya yang tak bisa menahan nafas walaupun sesaat karena langsung sesak. Terasa oleh saya beban beliau, sakit jauh dari keluarga dan kampung halaman. Saya tetap hibur Ajo Eri agar sabar, tetap husnuzh zhan billah dan selalu memperhatikan konsumsi makan minum untuk jaga staminanya. Siap kontak videocall itu, lunglai persendian saya merasakan beban sakitnya. Tak terasa saya pun menangis. Hal yang sama juga dicurhatkan oleh Tuangku Simawuang, salah satu pewaris dan pemelihara khazanah naskah yang sering kami sambangi ke suraunya. Tuangku Simawuang pernah juga menelpon Ajo Eri di kala sakitnya dan merasakan kesedihan yang sama dan mendalam.

Saya sangat ingin memantau perkembangannya, tetapi tak ingin menambah beban fikiran dan galau hatinya. Selasa saya hanya memantau berbagai informasi terkait beliau. Saya yakin banyak pihak lain yang sudah menghubungi beliau. Namun saya secara pribadi menahan diri untuk menelepon beliau hari itu. Akan tetapi, sehari kemudian yaitu hari Rabu, saya sangat penasaran dan ingin menampung curhatannya. Saya cek kembali status WAnya ternyata online dan saya langsung videocall kembali. Saat itu, kondisinya saya lihat agak drop. Posisi tidurnya sudah rebahan dengan kepala datar di atas bantal dan hanya sempat bicara sebentar. Nyesak dan berguncang dada saya melihat kondisinya dan saya tahan jatuh air mata di hadapannya. Tak tega saya berlama-lama kontak videocall dengan  beliau yang nampak lelah dan letih serta mulai sedikit bicaranya. Saya tetap hibur dan doakan beliau segera pulih, fit dan sehat wal ‘afiyat kembali. Namun di lubuk hati paling dalam saya remuk redam. Berulang kali menghadapi kondisi seperti itu dengan banyak pihak yang sudah berpulang sebelumnya, saya membatin, nampaknya tipis peluang kita untuk bersua lagi. Jatuh berlinang air mata saya mengenangnya….

Sehari jelang kepulangan Ajo Eri, teman share status perkembangan kesehatannya dari pihak Rumah Sakit di group WA kampus. Saya lihat saturasinya sudah naik kembali ke posisi normal di atas 95. Saya optimis kembali, Ajo Eri segera pulih sesuai doa dan harapan semua pihak. Namun ternyata takdir berkata lain, mujur sepanjang hari dan malang sekejab mata. Zat yang berpunya datang menjemput, cupak penuh, gantang berlanjung, ajal dari Allah pun tiba. Jam 10.30 WIB pada hari Minggu, 15 Agustus 2021, Ajo Eri kembali ke haribaan Sang Pencipta dalam keadaan ridha dan diridhai. Husnul khatimah untukmu Ajo Eri.

Semoga semua amal ibadahmu diterima oleh Allah SWT dan khilaf salahmu diampuni dan dimaafkan Allah. Semoga arwahmu mendapat keridhaan Ilahi dan tempat yang mulia dan tinggi di sisi-Nya. Sampai juga permintaan terakhirmu untuk pulang. Engkau berpulang dan dapat dipulangkan ke kampungmu. Jenazahmu dishalatkan di masjid dekat rumahmu dan dimakamkan di pamdam keluargamu. Ranah Bundo Pauh Kamba pun bersedih menangis seiring turunnya gerimis dan hujan membasahi bumi di akhir pemakamanmu. Selamat jalan sahabat, selamat jalan sang Mujahid, Filolog Ranah Minang. Walaupun kita berbeda alam, doa tulus senantiasa dimunajatkan untukmu. Semoga di alam barzakh, arwahmu mendapat nikmat kubur, kelapangan, kesejukan dan benderang adanya.

Suatu hal yang saya juga belajar dari almarhum Ajo Eri, ia sudah persiapkan mental keluarga, khususnya buk Mai istrinya dan dua anak bujangnya, Faiz dan Fathan. Faiz mengatakan: “Ayah Alhamdulillah juga sudah meninggalkan bekal ilmu kepada kami, sehingga kami dapat menerima kepergiannya dengan ikhlas. Alhamdulillah ayah dikelilingi oleh orang-orang baik seperti Bapak”. Semoga engkau berdua menjadi anak yang shalih dan hiburan serta investasi Ajo Eri buat selamanya. Aamiiin ya Rabbal ‘aalamiiin.