Kolom  

24 Tahun IAIN Batusangkar: Usia Tengah Berjuang Berat Menggapai Visi

Dr. Syukri Iska, M.Ag
(Mantan Ketua STAIN Batusangkar)

 

Tanggal 23 Desember dijadikan hari jadinya IAIN Batusangkar, dan diperhitungkan sebagai usia ke-24 tahun yang dihitung semenjak berdirinya STAIN Batusangkar. Dalam usia seperti ini, ibarat usia manusia,   Usia ke 24 Tahun dianalogikan sebagai usia yang tengah menanjak berat untuk meraih cita-cita yang begitu tinggi.

Cita-cita atau visi tentunya tidak hanya sebatas peraihan nomenklatur pendidikan tinggi dalam bentuk universitas semata. Melainkan bagaimana secara substantif, perguruan tinggi ini mampu menterjemahkan filofofis keilmuan intergratif dan interkonektif  sebagai refleksi Islam rahmatan lil ‘alamin, yang mampu menjawab berbagai persoalan dan tantangan keumatan serta peradaban yang terus berkembang sampai akhir zaman.

Pencapaian seperti itu,  tidak hanya ditentukan oleh  bagaimana membangun  paradigma masa depan semata, melainkan jemputan masa lalu yang tidak kalah berkontribusi dalam membangun peradaban dan keilmuan integratif dan intekonektif tersebut tersebut.

Secara institusional, jika kita  flash back menjelang lahirnya IAIN ini, telah berawal dari sebuah institusi mungil yang berpisah dari induknya IAIN Imam Bonjol, disuruh mandiri dan berkreasi sendiri dalam wujud yang namanya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Batusangkar, tahun 1997 yang lalu.

Perubahan ini disebut juga dengan alih status, telah memberikan peluang sekaligus tantangan tersendiri. Peluang, jelas dengan telah mandiri itu, STAIN bisa lebih berkreasi mengembangkan diri, dalam berbagai varian kreasi yang relevan dengan tugas dan fungsi sebuah perguruan tinggi keagamaan.

Baik dalam pengembangan keilmuan melalui jurusan dan program studinya, juga sumber daya manusia dan sarana prasarana yang menopang terhadap kemajuan akademik. Adapun tantangan, tentunya, sebagai pemain baru telah akan dan sedang “berkompetisi” dengan bekas induknya, di samping perguruan tinggi lain yang jauh lebih maju dalam usia yang relative lebih tua tentunya.

Awal-awal keberadaan STAIN Batusangkar ini, dengan 2 (dua) Jurusan; Tarbiyah, sebagai modal awal hasil warisan dari induknya IAIN Imam Bonjol, dengan 3 Program Studi (Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, dan Kependidikan Islam), dan Syariah sebagai jurusan baru untuk mengisi syarat kelayakan satu institusi disebut dengan Sekolah Tinggi Agama, dengan Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah, dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 400 orang.

Karena keinginan untuk duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan perguruan tinggi lain, semangat semua lini secara internal yang didukung berbagai stakeholders,setapak demi setapak telah berhasil mengembangkan Program Studinya, seperti Tadris Bahasa Inggris, Kependidikan Islam dengan kosentrasi Bimbingan Konseling (karena Departemen Agama saat itu, tidak mengenal nomenklatur Jurusan atau Program Studi dengan Bimbingan Konseling), Tadris Matematika, Tadris Fisika, dan Tadris Biologi di Jurusan Tarbiyah.

Di Jurusan Syariah pun didirikan Program Studi Mu’amalah (yang disiasati nomenklaturnya dalam kurung dengan Ekonomi Islam, karena Departemen Agama saat itu belum menentukan secara formal nomenklatur Jurusan atau Program Studi dengan “Ekonomi Islam/Syariah”), dan Program Studi Manajemen Informatika Diploma 3 yang ditompangkan pada Jurusan Syariah (karena Prodi “aneh” adanya di perguruan tinggi keagamaan, apalagi pada STAIN).

Pengayaan dan keberagaman Prodi tersebut, di samping kehendak pragmatis pasar (peminat meningkat, dengan tingkat tolakan relative tinggi, sehingga sampai akhir masa STAIN 2015 jumlah mahasiswa 6000 orang lebih), juga sebagai refleksi filosofis integrasi keilmuan (anti dikotomis) yang terwujud dalam nomenklatur perguruan tinggi berbentuk Universitas. Untuk itu pada tahun 2002 ditetapkan rencana strategis bahwa tahun 2012 STAIN Batusangkar beralih status menjadi Universitas Islam Negeri (walaupun itu tidak tercapai).

Dalam upaya menggapai cita-cita besar itu, berbagai upaya terus dilakukan, selain membuka prodi yang beragam, juga melakukan pendekatan-pendekatan strategis dengan bebagai unsur dilakukan. Seperti Bupati Tanah Datar, dengan senang hati akhirnya mencabut keputusan perencanaannya untuk mendirikan perguruan tinggi setingkat Universitas di Batusangkar, di saat STAIN telah membuat perencanaan berubah menjadi UIN.

Sedikit mendesak Gubernur Sumatera Barat sebagai Ketua Dewan Penyantun STAIN, dan dengan “terpaksa” beliau bersedia (kesulitan menerima permintaan ini, karena kesulitan seandainya semua PT di Sumbar meminta hal yang sama). Ada permohonan sentuhan kepada Bapak Prof. Fasli Jalal (waktu itu Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional), yang waktu itu disampaikan bahwa beliau ingin diidentifikasi sebagai sosok Prof. Malik Fajar yang saat di tangan beliau jadi Menteri STAIN Malang berubah menjadi UIN.

Bagaimana agar dengan jabatan beliau sebagai Dirjen Dikti ini bisa membuat hal yang monumental dalam bentuk pendirian Universitas di Batusangkar. Beliau sangat setuju, namun perlu dimulai membuka Prodi-prodi “umum”. Saat disampaikan bahwa itu sudah berjalan beberapa tahun, kendati rekomendasi untuk izin yang sudah sekian lama diajukan ke Depdiknas, belum juga turun, beliau kaget karena kita sudah jauh mempersiapkan syarat itu. Alhamdulillah semua kendala itu terselesaikan.

Alhasil sampai saat ini, alih status, berdasakan kebijakan yang ada, STAIN hanya bisa berubah menjadi IAIN, kendati setelah itu ada peluang untuk beralih menjadi UIN. Dalam suasana dan usia saat inilah perjuangan alih status menjadi Universitas itu tengah dilakukan oleh semua lini, baik internal maupun eksternal. Semoga cita-cita lama dan perjuangan panjang itu terwujud, dengan kekompakan dan penyatuan visi dan semangat semua pihak itu menjadi sebuah keniscayan.

Dirgahayu IAIN Batusangkar, road to UIN Batusangkar. Semoga Allah meredhai dan memberkati. Aamiin…