Kolom  

Kancil Sedang Covid

Oleh: Hasril Chaniago
(Tokoh Pers dan Wartawan Senior Sumatera Barat)

Menurut sahibul hikayat, di Negeri Antah Berantah dalam hutan rimba -tentu saja menggunakan hukum rimba- sedang ramai dan viral di “medsos” bahwa sang Raja Rimba sedang terjangkit “penyakit demam busuk”.

Apa saja yang jadi bagian dari Raja Rimba semuanya dikatakan busuk – bau badan, bau nafas, dan termasuk pikiran Tuanku juga disebut “busuk” (entah bagaimana pula cara mengetahui pikiran sedang busuk, serba tak jelas pula).

Isu “raja busuk” mulanya hanya berkembang dan viral di kalangan kawula dan netizen melalui medsos di negeri rimba itu saja. Selanjutnya berkembang ke lingkungan dekat alias ring satu sang raja. Lama-lama akhirnya sampai juga kepada raja sendiri.

Mengetahui isu yang lagi viral, Tuanku Rimba kemudian memanggil tiga pembantu utama dengan jabatan setingkat menteri, yaitu Menteri Sapi, Menteri Beruk, dan Menteri Kancil.

Ketiganya dipanggil satu-satu, sehingga di antara pembantu utama tidak saling mengetahui apa yang dibahas bersama Tuanku Raja Rimba.

Pada waktu yang ditentukan, ketiga pembantu utama sang raja sudah berada di ruang tamu VVIP di depan ruang kerja Tuanku Raja Rimba.

Menteri Sapi dapat giliran pertama dipanggil menghadap.

“Hamba siap mendengar titah dari Tuanku,” kata Menteri Sapi sambil mengaturkan salam sembah sebagaimana UU Keprotokolan menghadap Yang Maha Mulia.

“Ya, silakan duduk,” kata Paduka dengan suara berwibawa.

“Terima kasih yang mulia.”

“Begini Menteri Sapi. Saudara tentu sudah mendengar, sekarang sudah viral di medsos yang mengatakan bahwa saya, Raja Rimba, sedang terkena penyakit busuk. Saya ingin mendengar pendapat Saudara Menteri Sapi sendiri sebagai orang terdekatku…”

“Oh…, tentang itu rupanya Tuanku. Dalam hal ini, sesuai juga titah Tuanku selama ini, akan hamba jawab dengan jujur.”

“Ya, silakan. Itu yang aku harapkan.”

“Jadi memang demikian adanya Tuanku. Semua kita di negeri rimba ini memang busuk. Pertama karena hampir tidak pernah mandi, dan ….”

“Bukan hanya badan, nafasku pun dikatakan busuk. Bahkan pikiran ku pun disebut busuk… ini kawula rimba sudah keterlaluan sekali.”

“Wajar saja Tuanku. Karena Tuanku kan juga selalu makan daging mentah. Makan yang masak-mentah saja juga busuk bau nafasnya,” jawab sapi.

Mendapat jawaban tak sesuai harapan, bahkan bisa dianggap sangat lancang, muka Tuanku Rimba langsung merah padam. Dia pun memencet bel memanggil ajudan.

“Siap menerima titah, Paduka yang mulia,” kata sang ajudan, seorang Beruang, begitu masuk ruangan.

“Eksekusi Menteri Sapi, untuk santap siang saya!” Perintahnya.

Menteri Sapi langsung pucat pasi, keringat dingin bercucuran dari sekujur tubuhnya.

“Ada apa, Menteri Sapi?” Tanya Menteri Beruk melihat koleganya pucat pasi melintas di ruang VVIP.

“Pidatonya selalu meminta kita jujur. Tapi begitu saya jawab jujur, saya diperintahkan dieksekusi untuak santap siang Raja Rimba,” kata Menteri Sapi dengan tubuh gemetar.

Senang hati Menteri Beruk dapat bocoran soal.

“Paduka yang mulia, Menteri Beruk siap menerima titah,” katanya dengan ceria dan gembira.

“Ya begitulah. Menteri Beruk kan sudah mendengar semua yang lagi viral di medsos akhir-akhir ini,” kata Raja Rimba.

“Benar, Tuanku. Hamba dengar dan hamba sudah pantau bersama badan intelijen juga.”

“Kesimpulannya bagaimana?”

“Semua itu salah besar Tuanku. Ini dan kerjaan orang-orang yang tidak suka dengan tuanku. Mereka juga punya buzzer…”

“Jadi….”

“Salah besar Tuanku. Tuanku yang begini harum nama dan juga wangi bau nafasnya, kok dikatakan busuk…”  kata Menteri Beruk sambil menghirup-hirupkan nafas seolah sedang menyerap bau nafas dan bau tubuh junjungannya.

Wajah Raja Rimba kembali merah padam. Gerahamnya gemeretak menahan amarah.

“Ada apa, Paduka….?” Menteri Beruk mulai salah tingkah.

“Kamu tidak jujur. Hanya menyenang-nyenangkan aku saja…. aku tidak suka pejabat ABS, tau!?” kata Raja Rimba sembari memencet bel memanggil ajudan.

“Siap, Paduka,” kata ajudan Beruang yang segera menghadap.

“Eksekusi untuk santap malam!” Titah Raja Rimba.

Menteri Beruk pun keluar ruangan dengan wajah pucat pasi dan bermandikan keringat dingin.

Kini giliran Menteri Kancil. Dia masuk mengenakan masker dan bau minyak kayu putih sangat kentara bahkan menyengat.

“Sembah sujud, salam homat dari hamba, Tuanku,” kata Menteri Kancil dengan penuh kesantunan.

“Aku memanggil Menteri Kancil untuk meminta pendapatnya mengenai isu tentang aku yang lagi viral di medsos.”

“Hamba sudah menduganya, Paduka yang mulia.”

“Lalu bagaimana pendapat mu?”

“Mohon ampun beribu ampun Tuanku. Hamba minta maaf yang sebesar-besarnya, karena hamba sedang tidak ada penciuman. Jadi sulit memberikan pendapat, takut hamba nanti salah,” kata Menteri Kancil.

“Kenapa Menteri Kancil, rupanya?”

“Hamba kena Covid, Tuanku. Penciuman hamba tidak berfungsi, tidak bisa lagi membedakan harum maupun busuk. Tapi apapun Tuanku, bagi hamba tuanku tetapkan Raja Rimba yang berkuasa. Tak sedikit pun sumbing kesetiaanku kepada Tuanku, apapun kata semua orang itu…”

Langsung saja Raja Rimba melihatkan wajah iba. “Mestinya Menteri Kacil tidak usah memenuhi panghilanku, karena sedang sakit…”

“Tapi hamba adalah kawula yang setia. Tak mungkin mungkin mengabaikan titah Tuanku.”

“Ya.. tidak apa-apa. Aku paham kalau keadaannya demikian. Menteri Kancil harus isoma. Selalu ikuti prokes.”

“Siap, Tuanku.”

Raja Rimba lalu memencet bel. Ajudan masuk tergopoh-gopoh. Menteri Kancil sempat ketar-ketir.

“Siap menerima titah, Paduka. Apakah paduka perlu camilan atau snack untuk sore?”

“Tidak, sudah cukup.”

“Siap mendengar titah dari Paduka.”

“Menteri Kancil kena Covid. Dia harus isolasi mandiri dan diberi obat. Buatkan memo saya untuk Menteri Logistik, isinya kirimkan sembako yang cukup untuk Menteri Kancil. Kedua, memo saya untuk Menteri Obat, siapkan perawatan dan beri Menteri Kancil obat-obat terbaik.”

“Ampun Paduka, hamba mohon untuk tidak memberatkan beban anggaran negara…,” kata Menteri Kacil.

Belum selesai kalimatnya, Paduka langsung berkata: “Oo tidak. Ini perintah saya, semua kawula, semua rakyat Rimba, yang setia dan hormat kepadaku, harus mendapat pelayanan terbaik dari istana.”(*)