Gagal Merebut Hati Umat

Dr. Syahrir Karim
Ketua Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makasar

 

Ketiga, disartikualsi antara pemikiran dan aktualisasi Islam elit partai. Label Islam pada partai-partai Islam menjadi beban tersendiri bagi fungsionaris partai tersebut. Setidaknya bahwa mereka secara tidak langsung dituntut untuk mengutamakan nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi dalam beraktivitas tidak hanya secara kelembagaan tapi juga secara personal.

Jadi nilai-nilai keislaman ini tidak hanya ada di atas kertas tapi juga wajib teraktualisasi dalam program kerja dan perilaku para aktornya. Hal inilah kemudian ummat banyak yang kurang begitu tertarik dengan parpol Islam karena perilaku elit berbanding terbalik dengan label Islam yang melekat dalam partainya. Lihatlah misalnya bagaimana perilaku korupsi, dan seterusnya yang membuat ummat tidak begitu tertarik dengan parpol Islam.  Ada inkonsistensi nilai yang dilakukan oleh parpol Islam yang membuat umat menjauh.

Keempat, performa yang identik politik kelompok. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada polarisasi politik di tengah umat Islam. Secara umum Parpol Islam terbagai dalam dua tipe, pertama, parpol yang secara formalistic mencantumkan Islam sebagai ideologi yang dicantumkan sebagai azas partai, kedua, sebaliknya, parpol Islam yang tidak mencantumkan Islam sebagai azas partainya akan tetapi lebih menekankan pada penanaman nilai-nilai Islam secara substansialistik.

Nah tipe yang kedua inilah yang kelihatan punya kedekatan atau didentikkan dengan massa atau kelompok Islam tertentu. Kecenderungan parpol-paropol Islam mempunyai kedekatan secara emosional dengan kelompok tertentu membuat masyarakat muslim secara otomatis juga akan terpecah sesuai dengan kedekatan mereka dengan parpol.

Sebutlah misalnya, PKB lebih cenderung ke massa NU, PAN ke massa Muhammadiyah, begitupula PBB, PPP, PKS, Partai Ummat, dst. masing-masing partai ini punya kedekatan baik secara organisatoris maupun secara emosional dengan kelompok-kelompok ormas tertentu. Maka dipastikan kalau pilihan ummat Islam sulit terkonsentrasi pada parpol Islam.

Secara umum fakta di atas kelihatan ada faktor fragmentasi dan polarisasi internal dalam parpol Islam. Fragmentasi dan polarisasi terjadi salah satu penyebabnya adalah krisis kepemimpinan atau ketiadaan figure sentral dalam tubuh partai tersebut.

Faktor lain yang banyak berpengaruh juga adalah transformasi orientasi politik kaum muslim yang terus berubah-berubah yang disebabkan oleh krisis identitas dalam parpol Islam. Parpol Islam tidak mampu membranding partainya sebagai partai Islam yang mampu dipercaya dan mengakomodasi kepentingan umat. Hal ini juga berimplikasi ke para pemilih milenial yang masih labil.

Sebagai anak kandung media social, para milenial muslim ini justru menjadikan medsos sebagai instrument menentukan pilihan dan bersikap. Pada fase ini justru parpol Islam lebih mengedepankan strategi partai yang kaku, formalistic, sehingga terkesan jauh dari orientasi politik milenial yang lebih dinamis.