Kajian  

Misi “Politik” Kenabian

Oleh: Dr. Syahrir Karim, M.Si

( Ketua Jurusan Ilmu Politik UIN Alauddin Makasar)

Semangat Islam-Secara umum bahwa tugas utama Nabi s.a.w. diutus kedunia ini adalah memberi rahmat dan kasih sayang kepada seluruh alam ini. Hal ini jelas tertera dalam surah Al-Anbiya:107,

“Dan tidaklah kami mengtus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Misi rahmatan lil Alamin ini berarti luas tidak hanya dikalangan muslim tapi juga non-muslim.

Tentu misi ini begitu berat dan penuh tantangan dan perjuangan yg diemban Nabi. Mengatur umat manusia dengan berbagai karakter, suku bangsa, dan agama butuh usaha secara totalitas.

Secara tidak langsung sebenarnya hal ini sejalan tujuan politik itu sendiri sebagai usaha untuk mewujudkan kebaikan bersama (Aristoteles).

Terkait usaha kebaikan bersama  dlm perspektif Aristoteles diatas, Ali Abd al-Raziq mengatakan bahwa perhatian utama Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah sebentuk pemerintahan -apakah republic, kerajaan atau monarki-tapi bagaimana suatu pemerintahan bisa menerapkan nilai-nilai universal Islam, seperti keadilan dan kemakmuran (Assyaukanie, 2011).

Usaha politik kenabian ini tentu memuat logika sederhana dan argumentasi, diantaranya bahwa bagaimana mungkin bisa mengatur umat manusia yang begitu beragam kalau tidak dilembagakan dalam sebuah system politik.

Al-Ghazali pun lebih jelas mengatakan bahwa dakwah itu butuh lembaga kekuasaan yang bisa mengawal agar misi dakwah berjalan baik begitupun sebaliknya.

Oleh tokoh-tokoh pembaharu muslim menilai bahwa salah satu lembaga politik yang bisa mengawal misi (politik) kenabian adalah demokrasi. Tentu bagi mereka yang sepakat bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.

System politik demokratis dianggap lebih kondusif terhadap ajaran Islam dari pada system lain. Lebih jauh lagi bahwa system demokratis yang dijalankan negara-negara Barat ternyata lebih “Islami” daripada “monarki Islam” yang diterapkan penguasa-penguasa muslim.

Doktrin keadilan, kesejahteraan rakyat, kebebasan dan kesetaraan masih dipertanyakan tingkat keberhasilannya di negeri-negeri “Islam” seperti Pakistan dan Arab Saudi.

Temuan ini diperkuat oleh data (Mujani, 2007) yang mengutip dari Freedom House bahwa kecenderungan demokrasi semakin meningkat diseluruh dunia pasca perang dingin, dan uniknya kecenderungan ini tidak diikuti oleh negara-negara mayoritas Muslim. Temuan pentingnya adalah bahwa terdapat 8 dari 13 negara dengan pemerintahan paling represif di dunia dekade yang lalu adalah negara-negara Muslim.

Dalam misi kenabian, meskipun tidak secara eksplisit memerintahkan sebuah system pemerintahan secara formalistic, akan tetapi dalam prakteknya Nabi Muhammad SAW jelas memberi contoh.

Negara Madianah adalah contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW mempraketkkan bagaimana mengatur sistem kemsyarakatan yang begitu kompleks. Sehingga sangat wajar kalau hanya negara Madinah menjadi contoh tata kelola pemerintahan Islam bukan yang lainnya termasuk pasca beliau wafat.

Alasannya jelas, hanya negara Madinah yang menjadi satu-satunya punya landasan teologis tata kelola bernegara yang dicontohkan Nabi Muhammad s.a.w. Negara Madinah sudah memenuhi unsur-unsur syarat sebuah negara yakni unsur rakyat, kedaulatan, hukum yang eksis dan wilayah.

Nabi s.a.w juga memimpin semua suku yang secara legitimate di bawah kontrak social (piagam Madianh), bebeda ketika masih di Makkah hanya memimpin sukunya.

Oleh karena itu, kalau peran “politik” Nabi Muhammad SAW selama memimpin Madinah dianggap satu paket dengan kapasitas beliau sebagai Nabi sekaligus rasul Allah SWT.

maka tidak ada kata lain bahwa semua yang dicontohkan beliau “wajib” hukumnya diikuti. Madinah bukan Monarki, Dinsati, apalagi khilafah. Negara Madinah adalah representasi negara modern yang menjujung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan.

Data dari freedom House di atas yang menempatkan bahwa mayoritas negara muslim yang jauh nilai demokratis bisa jadi disebabkan karena karakter negara-negara  mayoritas muslim tersebut keluar dari nilai-nilai bernegara Madinah, yakni tidak lagi menjunjung nilai keadilan, kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi lainnya. Wallahu a’lam