Budaya  

Melihat Indonesia dari Film Generasi Biru dalam Kajian Semiotika

Melihat Indonesia dari Film Generasi Biru dalam Kajian Semiotika

Oleh: Husin

 

Pendahuluan

Film yang berjudul “Generasi Biru”, bertutur tentang Indonesia dan ke-Indonesiaan, dengan latar belakang perjalanan satu grup musik beraliran rock n roll, Slank. Film berdurasi 84 menit itu hendak mengisahkan perjalanan kaum muda yang memegang komitmen peace, love, unity, dan respect, yang kemudian oleh penggemar musik Slank yang disebut Slankers sering disingkat dengan PLUR. Film Generasi Biru ini dapat dikategorikan sebagai film musikal, karena juga berangkat dari perjalanan group music Slank di Indonesia, hampir disetiap daerah memiliki banyak penggemar. Penggemar Slank dikenal dengan sebutan Slankers. Film yang dirilis pada tahun 2009, arahan tiga sutradara, Garin Nugroho, John De Rantau, dan Dosy Omar ini menggabungkan beberapa elemen visual seperti dokumenter, animasi, dan tari, yang menjadikannya dinamis dan sarat dengan simbol kritik.

Hampir disetiap adegan ataupun scene dalam film ini memberikan tanda-tanda ataupun simbol-simbol yang membutuhkan daya analisa yang tajam untuk bisa memahaminya. Pada opening saja sudah memberikan visual yang memiliki muatan tanda, seperti visual animasi yang memperlihatkan mesin jackpot yang berfungsi untuk bermain judi. Pada monitor mesin jackpot terlihat tiga pilihan gambar, sebelah kiri topi baret warna merah, di tengah tulisan Rp, dan disebelah kiri gambar kupu-kupu. Kemudian mesin berbunyi dan gambar di monitor berputar dan mengeluarkan gambar di sebelah kiri wajah orang yang mengenakan kopiah, di tengah gambar tengkorak, dan di sebelah kiri kepala monyet. Mesin kembali berbunyi bersamaan dengan gambar berputar dan ketiganya muncul gambar kupu-kupu warna biru. Kemudian di depan mesin jackpot segerombolan kupu-kupu berterbangan menutupi mesin, lalu kupu-kupu hilang dan keluar huruf bertuliskan “Generasi Biru” yang berlatarkan kupu-kupu.

Semiotika adalah berupaya untuk menemukan tanda-tanda yang memiliki arti serta mengetahui sistem tanda seperti bahasa, gerak, musik, gambar dan lain sebagainya. Setiap gerak dan bahasa pada film Generasi Biru dikemas menarik oleh tiga orang sutradara. mereka merakam jejak perjalanan Group music Slank dengan menggambarkan kemuakan sekalligus keinginan kaum muda terhadap persoalam yang ada di Indonesia. Dengan mengetahui semiotika dari film Generasi Biru maka masyarakat bisa tahu film yang mendidik dan yang tidak. Kreator film dapat memberikan suguhan film kepada masyarakat yang membangun karakter kaum muda Indonesia, kemudian memberikan cerminan untuk selalu semangat dan terus berkarya. Hal tersebut sangat menarik perhatian penulis untuk menjadikannya sebagai kajian ilmiah.

Menurut Little John Semiotika adalah berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal tersembunyi dibalik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Semiotika merupakan istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau sign dalam bahasa Inggris itu adalah ‘Ilmu yang mempelajari sistem tanda’ seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi.

Lalu Umberto Eco, menyatakan bahwa semiotika adalah hal yang mempelajari hakikat tentang kebenaran suatu tanda. Tanda tersebut sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri (Sobur, 2006:87).

Kemudian Barthes menyebutkan, bahwa semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi aiatem terstruktur dari tanda (Sobur, 2009: 15).

Hal di atas diperkuat oleh Van Zoest yang erat kaitannya dengan melihat sistem tanda’ seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Karena film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Film dibangun dengan tanda semata-mata. Kemudian pada film digunakan tanda-tanda yang ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur, 2009: 128). Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri yakni, mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya dengan proyektor dan layar.

Sardar & Loon, menyebutkan bahwa film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang sedang disampaikan. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Sobur, 2009: 128). Figur utama dalam pemikiran semiotika sinematografi hingga sekarang adalah Christian Metz dari Ecole des Hautes Etudes et Sciences Sociales (EHESS) Paris. Menurutnya, penanda (signifant) sinematografis memiliki hubungan motivasi atau beralasan dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Penanda sinematografis selalu kurang lebih beralasan dan tidak pernah semena.

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: 1. Bunyi-bunyi dan gambar (sounds and images), disebut Signifier 2. Konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar disebut Signified. Model Semiotika dari Saussure berupa Sign (Tanda) Commposed of (terdiri dari) Signifier Signified Referent (external reality) Tanda (sign) adalah sesuatu yang berbentuk fisik (any sound-image) dapat dilihat dan didengar yang biasanya merujuk kepada sebuah objek atau apsek dari realitas yang ingin dikomunikasikan. Objek tersebut dikenal dengan Referent. Dalam komunikasi seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain menginterpretasikan tanda tersebut. Syaratnya komunikator dan komunikan harus mempunyai bahasa atau pengetahuan yang sama terhadap sistem tanda (Kriyantono, 2010: 271).

Sebuah tanda terdiri dari Penanda (signifier) yang adalah gambaran fisik nyata dari tanda ketika kita menerimanya dan Petanda (signified) yang adalah konsep mental yang mengacu pada gambaran fisik nyata dari tanda. Konsep mental dikenali secara luas oleh anggota dari suatu budaya yang memiliki bahasa yang sama (Fiske, 2012: 73).

Saussure menegaskan bahwa petanda adalah sesuatu yang bersangkut-paut dengan aktifitas mental seseorang yang menerima sebuah penanda. Menurut Saussure, tanda mengekspresikan ide-ide dan menandakan bahwa dia tidak sepakat dengan interpretasi Platonis atau istilah ide yaitu ide sebagai peristiwa-peristiwa mental yang jadi sasaran pikiran manusia. Dengan demikian, tanda secara implisit dipandang sebagai sarana komunikatif yang bertempat diantara dua orang manusia yang bermaksud melakukan komunikasi atau mengekspresikan sesuatu satu sama lain (Eco, 2009: 20).

 

Pembahasan

Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya. Lalu gagasan kebudayaan itu memiliki unsur serta struktur yang memiliki tanda yang dapat diterima di dalam perilaku masyarakat itu sendiri. Di dalam kaitannya dengan seni sabagai cerminan masyarakat yang dimaksud oleh Plato, sebuah karya seni  yang juga memiliki unsur serta struktur yang memiliki tanda yang dapat diterima oleh masyarakat. Seperti halnya  juga film yang mengangkat fenomena yang ada di tengah masyarakat.

Penghadiran Simbol sebagai penyikapan permasalahan yang dialami oleh rakyat Indonesia pasca pemerintah Orde Baru, yang oleh tiga orang sutradara mencoba meramunya dalam sebuah film musical yang mengadaptasi dari perjalanan serta pikiran group Slank mambaca Indonesia.

Melihat visual gambaran cerita yang dihadirkan dalam film Generasi Biru, penulis melihat ada kekuatan dan semangat yang diteriakkan oleh kaum muda Indonesia akan perubahan paling mendasar, Indonesia tanpa kekerasan, tanpa intimidasi, tanpa korupsi, dan Indonesia yang penuh  cinta damai. Karena kaum muda Indonesia, adalah kaum muda yang memegang komitmen peace, love, unity, dan respect, yang kemudian oleh penggemar musik Slank yang disebut Slankers sering disingkat dengan PLUR.

Sitiap simbol dan makna yang dihadirkan dapat dillihat dari tangga dramatik yang terdiri dari tiga bangunan ruang. bangunan pertama adalah perkampungan urban, bangunan kedua adalah ruang penjara, dan bangunan yang ketiga berupa rumah sakit. Dari ketiga bangunan ruang yang diusung, memberikan tafsiran makna yang diagambarkan lewat simbol-simbol. Sehingga penulis dapat melihat muatan propaganga dan kritikan terhadap penguasa dan ketimpangan sosial di Indonesia.

Perkampungan urban merepresentasikan Indonesia yang bergerak ke arah modernitas. Pergelaran pembangunan Indonesia modern oleh Orde Baru melahirkan perkampungan sumpek di kota-kota besar. Ruang perkampungan urban merupakan gambaran ketidakadilan sebagai akses pembangunan yang tambal-sulam. Segala bentuk persoalan sosial terjadi di ruang ini: pengangguran, putus sekolah, kriminalitas, dan kehilangan akar tradisi desa. Pada intinya ruang perkampungan urban ini hendak melukiskan kelamnya kota besar berikut problem tanpa solusi.

Ruang penjara menggambarkan sejarah politik Orde Baru yang kelam. Kekerasan dengan pendekatan militer terhadap rakyat, pemasungan hak sipil untuk bicara dan berapresiasi, penculikan aktivis prodemokrasi, penghilangan orang-orang yang bicara kritis, serta pembunuhan dan penghukuman tanpa pengadilan. Rumah sakit menjadi gambaran kelam dari sebuah generasi yang memberontak dari kejenuhan problem komunal. Anak-anak muda Indonesia dibelenggu kebebasan ekspresinya, sedangkan narkotika dan obat-obat terlarang menjadi sangat mudah didapatkan. Komunikasi sosial yang mampet dihadapkan pada realitas semu yang melahirkan kesenangan semu dari pemakaian narkoba.

Tiga konstruksi ruang dramatik itu merupakan simbolisasi dari berbagai realitas yang diwariskan Orde Baru, sebuah masa dimana grup Slank membangun karier musikalitasnya.

Dalam film ini juga menggambarkan kerusuhan pada tahun 1997, dimana setiap elemen masyarakat turun ke jalan untuk melakukan aksi demontrasi yang dimotori oleh mahasiswa. Aksi demonstrasi ini menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya dan menggantikan sistem Orde Lama dengan sitem Reformasi. Kondisi Indonesia pada saat itu disuarakan oleh Slank dalam lagu Gosip Jalanan yang sempat menuai kontroversi antara beberapa anggota legislatif di Senayan. Kritikan itu dapat dilihat dari potongan lyric lagu Gosip Jalanan;

…Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara

Kacau balau

Kacau balau negaraku ini

Apa bener ada mafia pemilu
Entah gaptek apa manipulasi data
Ujungnya beli suara rakyat

Kacau balau

Kacau balau negaraku ini

Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit…

Kacau balau

Kacau balau negaraku ini

 

Kemudian dalam lagu Gosip Jalanan, Slank juga mengkritisi persoalan pemilihan umum untuk memilih calon legislatif. masyarakat Indonesia seakan diajak untuk berhati-hati dan benar-benar menyaring calon legislatif yang akan dipilih, sehingga tidak menyesal karena salah pililh.

Dari bangunan ruang dramatik yang digambarkan di atas sudah memberikan pemaknanaan, melalui simbol dari setiap gerakan tarian yang bersinergis dengan soundtrack lagu yang dinyanyikan oleh Slank. Kemudian pemaknaan juga dapat dilihat dari visual animasi yang memilki kecendrungan multi tafsir.

 

Penutup

Film Generasi Biru di tangan tiga orang sutradara mencoba menterjemahkan Indanesia dalam prespektif kaum muda, lewat imaginasi dan estika film. Film ini diramu dengan berbagai elemen visual seperti dokumenter, animasi, dan tari, yang menjadikannya dinamis dan sarat dengan simbol kritik.

Karena di dalam film ini memiliki banyak muatan simbol, sehingga menjadi daya tarik bagi penulis untuk mengkajinya dengan menggunakan pisau bedah semiotik. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda.

Segala muatan tanda yang di sampaikan dalam film ini dapat dilihat dari tangga dramatik yang di bangun dalam tiga bangunan ruang. Bangunan pertama perkampungan urban, bangunan kedua ruang penjara, dan bangunan yang ketiga berupa rumah sakit. Hamir dari ketiga ruang yang dibangun memberikan makna yang dalam tentang kondisi masyarakat dan perpolitikan di Indonesia.

 

Husin, Praktisi Seni dan Dosen Luar Biasa

Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru, IG: @ucinatauacan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Eco, Umberto. Teori Semiotika, Bantul: Kreasi Wacana, 2009

 

Fiske, John. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012

 

Kryantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Pradana Media Group, 2010

 

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009