Kisah  

Kisah Abu Nawas: Menjual Raja Untuk Budak

Suatu hari Abu Nawas sangat kebingungan, bahkan ia hampir putus asa. Sudah dua hari dapur tidak mengepul asap karena tidak ada lagi barang yang bisa ia jual. Satu-satunya jalan yang bisa dia ambil adalah menjual manusia untuk dijadikan budak.

Sebenarnya jika Abu Nawas mau, dia bisa saja menjual teman-temannya, namun ia tidak tega karena teman-temannya bukan orang kaya melainkan orang miskin seperti dirinya.

Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Abu Nawas adalah menjual manusia. Akhirnya Abu Nawas memutuskan sesuatu yang tidak biasa, ia akan tetap menjual manusia untuk dijadikan oleh si pembelinya. Bukan menjual temannya melainkan rajanya, Harun Al Rasyid.

Menurut Abu Nawas, hanya Baginda Raja yang pantas untuk dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnya bagi Abu Nawas untuk menyusahkan Baginda Raja.

Abu Nawas mencari cara agar bisa menjual Baginda Raja Harun Al Rasyid. Ia pun mendapat ide dan menjuampai sang raja.

“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia.”

“Apa itu wahai Abu Nawas?” tanya Baginda langsung tertarik.

“Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia,” kata Abu Nawas meyakinkan.

“Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya,” kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.

“Tetapi Baginda,” kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tetapi apa?” tanya Baginda tidak sabar.

“Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu.” kata Abu Nawas.

Karena memiliki keinginan besar dan rasa penasaran yang begitu besar, Banginda Raja bersedia menyamar menjadi rakyat biasa. Melihat penyamaran sang raja berhasil, Abu Nawas dan Baginda Raja berangkat menuju ke sebuah hutan.

Setibanya di sana, Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon besar dan rindang, ia pun meminta sang Raja untuk menunggu. Sementara itu, ia pergi menjumpai seorang badui yang pekerjaannya menjual budak.

Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh.

Abu Nawas enggan menjumpai sang Raja dan merasa tidak tega. Sementara itu, Abu Nawas beralasan calon budak yang akan dijualnya adalah teman dekatnya sendiri. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok.

Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak.

Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di bawah pohon rindang tersebut, sampai tibalah pedagang budak menghampiri dirinya. Baginda Raja merasa heran, mengapa Abu Nawas tidak juga muncul dan mengapa ada orang lain selain dirinya dan Abu Nawas.

“Siapa engkau?” tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.

“Aku adalah tuanmu sekarang,” kata pedagang budak itu agak kasar.

Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.

“Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,” kata pedagang budak dengan kasar.

“Abu Nawas menjual diriku kepadamu?” kata Baginda makin murka.

“Ya!” bentak pedagang budak.

“Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?” tanya Baginda geram.

“Tidak dan itu tidak perlu,” kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan diperintahkan untuk membelah kayu.

Baginda Raja merasa heran dengan semua yang diperintahkan. Ia melihat begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus mengerjakannya.

“Ayo kerjakan!”

Meski ia merasa kebingungan dengan itu semua, Sultan Harun Al Rasyid mencoba untuk melakukan perintah dari tuan barunya. Sultan Harun Al Rasyid secara perlahan memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.

“Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali!”

Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam terarah ke kayu. la mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si badui.

“Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga,” gumam Sultan Harun Al Rasyid.

Si badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama menjadi marah. la merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.

“Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan.”

“Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!” kata badui itu sembari memukul sang raja. Tentu saja raja yang tak pernah diperlakukan kasar itu menjerit keras saat dipukul kayu.

“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid,” kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.

Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja. la pun langsung menjatuhkan diri sembari menyembah Baginda Raja. Sang raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.